- Daftar Sementara, Pemenang Paslon Bupati dan Wali Kota se-Aceh di Pilkada 2024 - November 29, 2024
- Polisi Tangkap Pengedar Narkoba di Langkahan, 16 Paket Sabu Siap Edar Jadi Barang Bukti - November 16, 2024
- Menteri Prabowo Mau Hapus Pajak Beli Rumah, Ambil KPR Jadi Murah - November 10, 2024
Banda Aceh – Dosen Antropologi Fisipol Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya menjadi pembicara pada diskusi publik dan sosialisasi “KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi”, Jumat (5/7/2024) yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) bekerja sama dengan Gerak Aceh.
Turut hadir sebagai pembicara lainnya pada acara tersebut adalah Danang Widyoko (Sekjen TII) dan Askalani (Koordinator Gerak Aceh).
Pada sambutannya, penasehat TII, Dadang Trisansongko, menyebutkan bahwa kinerja KPK di bawah pemberlakuan revisi UU KPK (UU No. 19/2019) mengalami penurunan signifikan. “Berdasarkan hasil studi Transparency International Indonesia kinerja KPK era Firli Bahuri mengalami penurunan,” katanya.
Lanjut Dadang, mayoritas dari 50 indikator yang terbagi dalam enam dimensi pengukuran mengalami penurunan signifikan apabila dibandingkan dengan kinerja KPK sebelum revisi UU. Tingkat penurunan terbesar terjadi pada dimensi Independensi yang mengalami penurunan sebesar 55% (dari 83% di tahun 2019 menjadi 28% di tahun 2023), lalu dimensi Penindakan yang mengalami penurunan sebesar 22% (dari 83% di tahun 2019 menjadi 61% di tahun 2023), dan dimensi kerja sama antar lembaga yang mengalami penurunan sebesar 25% (dari 83% di tahun 2019 menjadi 58% di tahun 2023).
“Hal ini menyebabkan saya tidak berbangga lagi atas prestasi KPK kita di forum internasional,” papar Dadang.
Kemunduran kinerja ini bukan saja akibat pelemahan peran KPK di bawah UU No. 19/2019, tapi juga secara keseluruhan pada proses rekrutmen Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Dadang, legitimasi moral KPK di mata publik semakin merosot dengan perilaku pelanggaran etik hingga status tersangka yang dialamatkan pada mantan Ketua KPK, Firli Bahuri. Demikian pula kasus kasus pungutan liar di rutan KPK yang melibatkan 90 lebih pegawai KPK.
Sementara Teuku Kemal, menyampaikan secara antropologis korupsi telah menjadi membudaya dalam masyarakat Indonesia. Menyitir penelitian Peter Carey dan Anhar Gonggong, korupsi di Indonesia terjadi sejak era sejarah Belanda yang berhubungan dengan pejabat yang mendapatkan keuntungan dari pekerjaan atau proyek dari pemerintah kolonial.
Lebih lanjut Kemal mengatakan, ketika Indonesia merdeka dari pemerintahan kolonial, karakter dan budaya korupsi masih berlangsung. Tidak terjadi transformasi signifikan dari momentum proklamasi. Jejak-jejak itu terlihat dari novel Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, terbit pada 1954, pada sosok Bakir, aparat pemerintah yang tidak mau mengakhiri masa pensiun dalam keadaan miskin.
“Tidak! Tidak! Bertahun-tahun aku sudah menderita jadi pegawai. Kalau aku mengerjakan korupsi tidak akan aku kena sial. Tidak! Itu bukan pelanggaran – itu sudah selayaknya,” batin Bakir,” mengutip novel Pram tersebut.
Dosen yang juga kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan mengatakan bahwa pelemahan upaya pemberantasan korupsi dapat menamatkan misi reformasi 1998.
“Saat ini kita sedang mengalami defisit demokrasi, juga melemahnya gerakan masyarakat sipil, menguatnya peran negara, dan membuat koruptor merajalela,” ungkapnya.
Kemal mengusulkan bahwa pada seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK yang akan ditutup pada 15 Juli ke depan harus diisi oleh para pimpinan kampus (rektor) yang berintegritas dan para aktivis antikorupsi yang telah dikenal track record-nya, sehingga nafas untuk menyelamatkan agenda pengentasan korupsi bisa bernyala lagi.
“Sosok seperti Askalani layak untuk maju sebagai calon pimpinan KPK. Sayang mereka terhambat oleh persyaratan umur harus minimal 50 tahun menurut UU No. 19 tahun 2019,”tegasnya.[]