- BNN RI gagalkan penyeludupan 29,25 kg sabu-sabu di Aceh - September 17, 2024
- Jabar Lolos ke Final Lewat Drama Adu Penalti - September 17, 2024
- Peringati Maulid Nabi, Geuchik Tambon Tunong Santuni Puluhan Anak Yatim - September 16, 2024
Linkkamedia – Syekh Abdurrauf, lahir di Singkil atau Barus diperkirakan awal abad ke 17 M. Masyarakat Aceh lebih populer dengan Tgk Chiek Di Syiah Kuala, karena beliau semasa hidupnya tinggal di Zawiyah Meunara (Menara) di Kuala Bandar Aceh Darussalam.
Sedangkan gelar al-Singkili itu diberikan oleh para sarjana asing dari Eropah seiring mengkaji sejumlah karya karya emasnya pada masa-masa lampau. Nama lengkap beliau Syekh Abdurrauf bin Ali al-Jawi.
Al Singkili lahir di Singkil pada awal Abad ke 17 Masehi, kemudian As Singkili berangkat menuntut ilmu ke Yaman dan Haramain (Mekkah-Madinah) pada awal era Sultanah Tajul Alam Ratu Safiyatuddin (1641 M). Jadi dipastikan ia mengetahui pertikaian yang terjadi di kesultanan antara pengikut Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, karna Syekh Abdurrauf masih di Aceh pada periode Nuruddin ar-Raniri atau Sultan Iskandar Tsani.
Selama 19 tahun di Arab (1642-1661 M), ia kembali ke Aceh pada tahun 1662 Masehi dan menjadi Shayhkul Islam, jabatan di Kesultanan Aceh yang pernah disandang oleh Syekh Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630) dan Syekh Nuruddin al-Raniri (1637-1644 M).
Jadi ada gap (jurang) yang kosong untuk jabatan Syaikhul Islam, yaitu 7 tahun setelah Syamsuddin al-Sumatrani meninggal atau sebelum kedatangan Nuruddin ar-Raniri, dan juga + 17 tahun setelah kepulangan Nuruddin ar-Raniri. Ini disebabkan belum banyak diungkapkan oleh para sarjana sampai saat ini, karena masih sedikit para ilmuwan yang merujuk ke naskah-naskah (manuskrip) untuk mendapat data-data masa lalu. Menurut Hermansyah (filolog Aceh) jabatan syaikhul Islam dan Qadhi Malikul Adil setelah Syamsuddin al-Sumatrani wafat adalah syaikh Faiz al-Fairusi al-Baghdadi (1630-1636 M), yaitu diakhir-akhir masa pemerintahan sultan Iskandar Muda. Ini diketahui melalui naskah kuno tarekat silsilah Syattariyah Tgk Ali di Tanoh Abee.
Sedangkan Syaikhul Islam sebelum Abdurrauf Syiah Kuala adalah kemungkinan Sayf al-Rijal, namun tidak dapat dipastikan berapa lama ia di lingkungan Kesultanan. Ia ulama yang pernah mengeyam pendidikan di Aceh, Minangkabau dan India dan memenangi debat/diskusi dengan Nuruddin al-Rarini yang mengakibatkan ia kembali ke India. Informasi ini diperoleh dalam penelitian Takashi Ito melalui laporan tertulis (juga disebut mansukrip) Peter Sourij kepada delegasi Belanda tahun 1644 M.
Pada tahun 1662 M, syakh Abdurrauf Syiah Kuala yang terkenal alim, keramat, dan guru dalam tarekat Syattariyah serta ulama yang sangat dihormati resmi sebagai Syaikhul Islam. Ia dikenal melalui karya-karyanya yang spekstakuler, komprehensif dan pembawa perdamaian antar kelompok yang bertikai di Aceh, baik akibat perselisihan akidah ataupun kekuasaan.
Karya-karyanya masih dikenal hingga kini dan belum tertandingi, terutama bidang tasawuf, kalam, tafsir, dan fiqh.
Dalam bidang Fiqh yang sangat terkenal salah satunya karyanya adalah kitab Mir’atul Tullab (judul lengkapnya Mir’atul Tullab fi Tashil al-ma’rifat al-Ahkam wal Syari’ah lil Malik al-Wahhab : Cermin segala mereka yang menuntut ilmu Fiqh untuk memudahkan mengenal segala syariat Allah).
Kitab ini disusun atas permintaan Sultanah Tajul Alam Safiatudin Syah, dimulai sekitar tahum 1663, atau diawal bergabungnya dalam lingkungan Kesultanan (1663 M). Ini dapat ditunjukkan dengan alasan Syekh Abdurrauf pada mukaddimah kitabnya menyebutkan bahwa awalnya ia enggan menerima tugas tersebut, karena ia belum fasih dalam menulis bahasa Jawi (Melayu), sebab lama di negeri Yaman, Mekkah dan Madinah, dan baru-baru kembali ke Nusantara. Tetapi dengan bantuan dua orang saudaranya, (salah satunya saya sudah mendapatkan nama penulis Kitab Mir’at Ath Thullab yaitu Syekh Abdul Khahar dari Negeri Ulim (Pidie Jaya sekarang) nama pembantu Tgk Chiek di Syiah Kuala ini, nama ini terungkap pada kolofon penutup Naskah Mir’at Ath Thullab koleksi saya sendiri (Tarmizi Abdul Hamid) maka iapun mengarang kitab ini untuk orang (lembaga pemerintahan) di lingkungan Qadhi, kehakiman, kejaksaan, ataupun lembaga penegakan hukum dan syariat Islam lainnya.
Kitab Mir’atul Tullab terdiri atas 3 bab / pembahasan:
a). Hukum Fiqih, baik persoalan Muamalah (perdata), nikah dan segala permasalahan keluarga, termasuk didalamnya permasalahan warisan (faraidh: pembagian harta pusaka), termasuk hukum warisan tanah negara, dan segala hasil bumi didalamnya .
b). Hukum Ba’i (persoalan jual beli dan segala perkara yang terkandung didalamnya, hukum laba dan bunga).
c). Hukum Jinayah (penegakan hukum syariat, termasuk didalamnya hukum perdata dan kriminal atau permasalahan kontemporer).
Permintaan Sultanah Safiyatuddin sangat beralasan, karena segala problema masyarakat yang kompleks dan beraneka ragam belum terdapat satupun karya dalam bahasa Melayu. Bahkan, belum ada pedoman (sekarang : Qanun/Undang2) sebagai pedoman Kesultanan/ Pemerintahan. Karena yang menjadi landasan sebelumnya pada bidang Fiqh kitab Siratul Mustaqim karya Nuruddin ar-Raniry, meliputi bidang Taharah (bersuci), Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. Karenanya, Abdurrauf dikenal sebagai ulama pertama yang menulis mengenai fiqh mu’amalat, sehingga kitab Mir’atul Tullab sebagai solusi di Kesultanan dan masyakarat saat itu.
Maka kemudian dikenal dengan “Adat bak Poteu Meuruhoem, Hukom bak Syiah Kuala Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”, karena aplikasi dan penerapan langsung hukum-hukum syariat dan fiqh di masyarakat diprakarsai oleh Abdurrauf Syiah Kuala.
Oleh sebab itu, sumber utama kitab ini adalah Fath al-Wahhab, syarah kitab Minhaj Tullab yang disusun oleh Abu Yahya Zakariyah al-Ansari yang juga terdapat dalam koleksi Tarmizi Abdul Hamid, Kitab Minhaj Tullab adalah ringkasan dari kitab Minhaj al-Talibin karangan imam Nawawi (w. 676 H/1277 M). Kitab Tuhfat al-Muhtaj dan Fath al-Jawab karya Ibn Hajar al-Haytsami (w. 973/1565 M), kitab imam al-Ghazali (w. 505 H/1112 M) yang masing-masing berjudul al-Wasit dan al-Basit.
Pengaruh kitab Mir’atul Tullab bukan hanya sebagai pedoman di Kesultanan Aceh. Akan tetapi, menurut MB Hooker (1984) mengemukakan, Lumaran, kumpulan hukum Islam yang digunakan kaum Muslim Miquidanao, Filipina, sejak pertengahan abad ke-19, menjadikan kitab Mir’atul Ath Tullab sebagai satu-satunya acuan utamanya. Demikian juga bab Faraidh di dalam Mir’atul Tullab menjadi pedoman dan digunakan di wilayah Melayu-Nusantara; yaitu termasuk wilayah Nusantara (terutama Sumatera, Jawa dan Sulawesi), Malaysia, Patani (Thailand Selatan) dan Brunai Darussalam dan Afrika Selatan, Ini terbukti ditemukan kitab-kitab cetakan Ilmu Faraidh karya Abdurrauf Singkili di Singapura, Jeddah (Haramain) dan Malaysia.
Murid-murid Abdurrauf yang terkenal adalah ;
1. Muhammad Baba Daud Rumi (Masailal Mukhtadi)
2. Burhanuddin Ulakan (Tuanku Ulakan) (1646-1693 M) dari Minangkabau, dan mengembangkan tarekat Syatariyah di Minagkabau (Sumatera Barat).
3. Abdul Muhyi, Pamijahan- Jawa Barat, pengembang tarekat di Jawa
4. Abdul Malik bin Abdullah (1678-1736 M) dikenal juga sebagai Tok Pulau Manis, dari Terengganu
5. Murid terdekatnya adalah Dawud al-Jawi al-Fansuri bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al-Rumi. Kemungkinan ayahnya berasal dari Turki, sebagai pasukan perang Turki yang membantu Aceh terhadap serangan Portugis, namun ia lahir di Aceh (Fansur-Aceh Singkel)
6. Kemungkinan juga Muhammad Yusuf al-Makassari (1627-1699 M) belajar kepadanya atau sama-sama belajar. Namun, yang pasti mereka pernah bertemu.
7. Dan beberapa ulama dari Patani, sebelum syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani
II. Karya Syekh Abdurrauf As Singkili
1. Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab, Kitab Hukum Islam.
2. Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
3.Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
4. Mawa’iz al-Badî’, berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
5. Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
6. Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
7. Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
8. Umdatul Muhatajin.
9. Tanda Kiamat
10. Kasyful Muntadhar
11. Doa-doa tasawuf,
12. Ilmu kebal dan doa keramat.
13. Daqaiq al-huruf
14. dan berbagai Kitab Tassawuf lainnya, yang jumlah karyanya sampai 40 judul.
III. Macam-macam (Various) Teks Naskah dalam 1 Bundel
Salah satu naskah yang unik dan sangat penting juga yang dimiliki adalah teks bermacam-macam (miscellaneous) dalam satu bundel naskah (1 ikatan yang tak terpisah). Biasanya dilakukan oleh seseorang penyalin melihat pentingnya naskah-naskah ada pada saat itu, sehingga disalin dalam satu bagian yang menyatu dan tidak terpisahkan, seperti satu bundel naskah ilmu tasawuf, satu bundel ilmu pengetahuan alam (ta’bir gempa, hukum melaut, waktu bertanam), atau satu bundel obat-obatan, yang terdapat segala macam obat didalamnya.
Naskah-naskah diatas semuanya ada, termasuk tentang tasawuf. Bahwa dalam satu bundel naskah terdapat 16 judul teks naskah / 16 judul pembahasan. Di antaranya terdapat nama Abdurrauf As Singkili.
Melihat judul-judul kitab diatas, maka satu bundel naskah itu sangat penting, yang kadang masyarakat kurang memahami dan mengerti isi di dalamnya. Dia bukan hanya satu aspek pembahasan, dan bukan hanya satu karya ulama saja.
Sepatutnya juga, ini lebih kepada kajian ilmuwan yang bisa dilakukan dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga intelektual seperti lembaga pengkajian dan lembaga pendidikan tinggi, yaitu universitas; baik IAIN Ar-Raniri dan Unsyiah. Karena kedua universitas tersebut memiliki kapasitas dan kualitas untuk menelaah lebih dalam karya-karya mereka, sebagai lembaga yang memakai jasa nama-nama ulama tersebut. Namun, sejauh ini belum ada kearah sana.
Padahal beberapa universitas di dalam negeri seperti UI, UGM dan Unpad telah melakukan program rekonstruksi dan reproduksi karya-karya ulama terdahulu, untuk menggali ilmu yang terdapat dalam naskah-naskah kuno. Hal yang sama sebelumnya sudah dilakukan di Malaysia, dan satu abad sebelumnya di Leiden University melalui kajian naskah.
IV. Nazam dan teks-teks suntingan lainnya ;
Program kita (Rumoh Manuskrip) kedepan adalah merekonstruksi naskah-naskah kuno ke dalam bahasa Latin, atau disebut transkripsi/transliterasi teks. Yaitu proses penyuntingan teks naskah kuno dari Arab-Jawi ke Latin, sehingga bisa banyak dibaca oleh khalayak umum, tidak disitu saja, bahkan dikaji dalam konteks keilmuan sekarang (konstekstual).
Salah satunya buku Nazam Aceh, merupakan contoh hasil dari teks naskah kuno yang disunting dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan dikaji dengan keilmuan yang selaras dengannya
Oleh karena itu, program kita ke depan bukan hanya inventarisasi dan restorasi (perbaikan) naskah, artinya naskah yang ada ditangan saya tidak hanya terpendam di dalam lemari besi atau di rumah saja. Akan tetapi tujuan utamanya adalah kajian tekstual (kajian teks naskah) dan kontekstual (ilmu yang didalam naskah) dengan ilmu yang berkembang saat ini. Sehingga harapannya bisa bekerja sama dengan pihak pemerintah dalam bidang apapun, LSM/NGO baik dalam Negeri maupun luar Negeri serta Lembaga Pendidikan seperti Universitas Syiah Kuala (USK) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh dan tentunya para Ikatan Sarjana Dayah (ISAD) Aceh. []
Penulis : Tarmizi Abdul Hamid (Direktur Rumoh Manuskrip Aceh)
(Catatan kecil dari penulis untuk Ikatan Sarjana Dayah Aceh)
Sumber: maa.acehprov.go.id