Home / Historia / Nasional

Selasa, 2 April 2024 - 22:41 WIB

Regu Pembunuh Hindia Belanda yang Mematikan

Marinir Belanda menginterogasi tentara TNI yang ditangkap, dekat Surabaya (Jawa Timur), Agustus 1948. Untuk melakukan tindakan ekstrem terhadap Republik, militer Belanda membentuk 'regu pembunuh'. Foto: Hugo Wilmar/Mariniersbrigade/NIMH/

Marinir Belanda menginterogasi tentara TNI yang ditangkap, dekat Surabaya (Jawa Timur), Agustus 1948. Untuk melakukan tindakan ekstrem terhadap Republik, militer Belanda membentuk 'regu pembunuh'. Foto: Hugo Wilmar/Mariniersbrigade/NIMH/

LinkkaMedia – Era revolusi kemerdekaan yang berlangsung 1945–1949 merupakan masa krisis bagi Indonesia. Belanda yang kembali setelah Perang Dunia II berupaya menegakkan kolonialisme kembali dengan berbagai upaya.

Upaya kekerasan diambil sebagai cara cepat untuk menghentikan perlawanan dari kalangan Republik Indonesia. Akan tetapi, diplomasi demi diplomasi diadakan yang kerap melibatkan sekutu Belanda dan PBB.

Belanda pun harus “bermain cantik” untuk mendapat dukungan, sembari menghentikan pemberontakan dengan cara keras dalam sejarah Indonesia.

Sejarawan Belanda Rémy Limpach mengungkap bahwa Kelompok Intelijen dan Keamanan (Inlichtingen- en Veiligheidsgroepen (IVG)) pernah menugaskan kelompok bersenjata yang mematikan.

Limpach menyebutnya sebagai “regu pembunuh” yang berfungsi meredam perlawanan revolusi kemerdekaan. Dalam buku Tasten in het duister mengungkapkan, regu ini sering melakukan penyiksaan dalam dinasnya.

“Regu pembunuh” tidak hanya membunuh gerombolan perlawanan dari kalangan Indonesia, melainkan juga menghukum berbagai orang yang dinilai terlibat dalam spionase, sabotase, atau tindakan subversif yang mengancam Belanda.

Sebagian besar aktif di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Jawa Timur sendiri, regu ini dibentuk oleh Brigadir Marinir Dinas Keamanan (Veiligheidsdienst Mariniersbrigade (VDMB)).

Di daerah lain dalam sejarah Indonesia, jejak aktivitas yang berhubungan dengan “regu pembunuh” ini juga ada. Limpach menyingkap indikasi aktivitas mereka secara aktif di Jawa Tengah dan Sumatra Barat, walau hanya sedikit arsip yang mendokumentasikannya.

Regu ini aktif dalam senyap. Mereka tidak menerima instruksi rinci, sehingga aktivitas mereka nyaris luput dalam penelusuran sejarah. Limpach dalam bukunya menyingkap bahwa mereka kadang-kadang diperintahkan untuk membunuh individu tertentu atau gerilyawan.

“Keinginan imperium Belanda untuk memulihkan Pax Neerlandica pada prinsipnya adalah dasar dari semua tindakan kekerasan (walaupun hal itu bukanlah izin bagi Republik untuk menggunakan kekerasan ekstrem),” tulis Limpach.

Meski lebih cair posisi mereka di bawah militer Belanda, mereka bisa memenuhi syarat untuk mendapatkan penghargaan militer.

Awalnya, kelompok tentara Belanda berkulit putih menjadi bagian dari “regu pembunuh” ini. Hanya saja, perbedaan ras membuat mereka dikenali, sehingga regu ini lebih banyak diisi oleh personel orang Indonesia–biasanya orang Maluku–atau keturunan Indo, dan mata-mata dari kalangan warga yang mendukung Belanda.

Sepanjang 1945–1949, berbagai diplomasi diadakan dalam sejarah Indonesia. Perjanjian-perjanjian politik itu pernah membentuk perbatasan antara kuasa Republik Indonesia dan Belanda. Kalangan militer dari kedua belah pihak harus berpindah untuk menghormati kesepakatan.

Akan tetapi, garis demarkasi ini kerap dilanggar. Dalam narasi sejarah Indonesia, Belanda sering melanggar. Begitu pula dalam sejarah Belanda, kalangan Indonesia melanggar perbatasan demarkasi.

“Regu pembunuh” aktif di kawasan militer Belanda selama periode ini untuk mengantisipasi pergerakan pejuang Republik. Anehnya, mereka juga aktif di garis demarkasi sisi Indonesia.

Melansir Historiek, aktivitas ini mengejutkan karena Belanda sendiri sering mengeluhkan pelanggaran yang dilakukan di garis gencatan senjata tersebut. Bisa jadi, pelanggaran-pelanggaran di sekitar perbatasan disebabkan oleh aktivitas “regu pembunuh” ini untuk provokasi.

Aktivitas mereka tidak luput dari militer resmi Belanda atau KNIL. Misalnya, salah satu kesaksian tentara dalam buku Limpach menyatakan, “Ternyata pasukan kejut kampung ini juga sudah lewat, karena ada beberapa mayat di sepanjang jalan (. . .)”

Regu yang dibentuk oleh badan intelijen ini melakukan pekerjaan kotor KNIL. Mereka yang terdiri dari kalangan pribumi sangat diandalkan karena mengetahui bahasa, budaya, dan adat istiadat, dibandingkan serdadu Belanda.

Diperkirakan ada sekitar 5.000 orang dari 220.000 tentara KNIL bekerja sebagai “regu pembunuh”. Mereka dapat beraksi di luar tindakan hukum, termasuk kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda dalam sejarah Indonesia.

Intelijen Kontraproduktif

Bagaimanapun, perang kemerdekaan Indonesia dimenangkan oleh Republik. Perang ini melibatkan intelijen pada kedua belah pihak.

Penugasan tentara intelijen, termasuk “regu pembunuh” ini dinilai sebagai hal yang kontraproduktif, menurut Limpach. Kekerasan yang dilakukan mereka membuat tawanan memberikan informasi yang buram kebenarannya.

Hal ini disebabkan personel intelijen Belanda terlalu sedikit, kurang terlatih, dan kurang berpengalaman. Terlebih, mereka sangat mengandalkan kelompok senyap mereka yang diisi sebagian besar kalangan pribumi.

Kondisinya berbeda dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kelompok tempur ini berperilaku dengan baik dan mendapatkan hati sebagian besar masyarakat di Indonesia.

TNI bisa berbahasa Belanda dan menggali informasi tentang militer Belanda dengan cara apa pun, tanpa konfrontasi. Salah satu cara intelijen TNI adalah menggunakan perempuan pelacur yang sangat penting dan tidak disadari oleh militer Belanda.

Sumber: nationalgeographic.grid.id

Share :

Baca Juga

Nasional

Bareskrim Polri Tangkap 4 Orang di Aceh, Sita 135 Kg Sabu dari Thailand

Nasional

Tidak Hilang Tersapu Tsunami Aceh, Ayah Calvin Verdonk Masih Hidup

Nasional

Satu WNI Korban Penembakan di Malaysia masih Dirawat Intensif

Daerah

Puluhan Imigran Rohingya terdampar di Aceh Timur, Ada Empat Balita

Hukum

Polda Aceh Copot Polisi yang Paksa Pacar Pramugari Aborsi hingga Infeksi Rahim

Daerah

Pemerintah Aceh Barat Butuh Dana Rp.212 Milliar Lebih Untuk Pemeliharaan Ruas Jalan Provinsi Dan Kabupaten 

Nasional

Warga Aceh Timur Jadi Korban Penembakan APMM di Malaysia

Nasional

Haji Uma: Masalah Tukin Dosen ASN, Ini Darurat, Harus Segera Diselesaikan